Sejarah Haurkuning

 SEJARAH HAURKUNING


Desa Haurkuning memiliki sejarah panjang yang berakar dari perjuangan dan kepemimpinan Raden Sutajaya. Ia memiliki dua saudara, yaitu Raden Sutamulya yang bermukim di Sakerta dan Raden Sutalaksana yang tinggal di Kertayuga. Raden Sutajaya sendiri menikah dengan Nyai Ageung Pratiwi, yang kemudian memilih untuk menetap di Bunigeulis. Dalam upayanya memperluas pemukiman, Raden Sutajaya melakukan sebuah tradisi unik dengan menggulingkan bedug dari Wulukut hingga berhenti di Blok Galonggong. Tempat di mana bedug tersebut berhenti kemudian dijadikan sebagai pemukiman baru, yang pembangunannya mendapat izin langsung dari Syech Jalaludin, atau yang dikenal sebagai Kuwu Gede.

Pada masa yang sama, Syech Jalaludin bersama Patih Gandrayana berupaya memperluas kekuasaan dengan menancapkan bambu kuning (disebut Awi Kuning atau Haurgereng) yang telah dibelah dua di Wulukut dan Bungkirit. Wilayah ini kemudian dikenal dengan nama Haurduni. Selain itu, Patih Gandrayana membawa bambu kuning tersebut ke Cirebon, di mana bambu tersebut konon berubah menjadi Pedang Kamilah. Pedang ini memiliki nilai historis karena digunakan sebagai senjata dalam perlawanan Kesultanan Cirebon dan Demak melawan penjajah di Jayakarta (Sunda Kelapa). Bahkan, bambu kuning tersebut juga digunakan sebagai senjata bambu runcing dalam perjuangan rakyat melawan penjajahan. Sejarah ini mencerminkan bahwa Desa Haurkuning bukan hanya terbentuk melalui proses pemukiman, tetapi juga memiliki keterkaitan erat dengan perjuangan melawan penjajahan serta perkembangan wilayah Cirebon dan sekitarnya.